DETAIL

Pesantren Perlu Terlibat dalam Pengawasan Media

2012-07-24 10:35

Dampak siaran televisi yang dirasa semakin mengkhawatirkan bagi masyarakat juga dirasakan oleh kalangan pesantren. Oleh karena itu dibutuhkan model pengawasan media yang berakar dalam tradisi presantren. Kesimpulan tersebut mengemuka dalam diskusi sosialisasi Program Pengawasan Media Oleh Pesantren dan Sosialisasi Regulasi Konten Siaran yang digelar di Pondok Pesantren Mamba’us Shalihin, Suci-Manyar, Gresik, Selasa (17/7) yang digelar oleh Centre for LEAD Indonesia dengan dukungan Yayasan TIFA Jakarta.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, pesantren mulai menemui ironi media yakni dampak negatifnya terhadap pendidikan santri. “Ibaratnya, guru kami di sini saat ini ada 5, yang pertama adalah media. Dan media adalah guru yang pintar membalikkan fakta untuk mencuci pikiran anak,” kata Ustadz Ahmad Thohari yang mewakili Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’us Shalihin memberikan sambutan saat membuka acara.

Salah seorang peserta dari Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Abdul Latif menyatakan saat ini pesantren tak hanya membutuhkan pertahanan diri terhadap serbuan informasi. Pesantren juga  memiliki beban ganda berupa tanggungjawab menyebarluaskan nilai-nilai pendidikan pada publik, bahkan di luar pesantren, dalam merespon massifnya media. Dari pengalamannya, Latif menuturkan pondok pesantrennya pernah membuat radio komunitas yang memuat siaran dakwah pesantren untuk diakses santri dan masyarajat sekitar. Namun program rintisan tersebut akhirnya mandeg, karena terganjal soal aturan perizinan. “Kalau udara kita ini sudah dijual, bagaimana kita bisa memperluas peluang untuk membangun gerakan dakwah?”, tanyanya.

Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur Muhamad Dawud menyatakan, bahwa pesantren tetap memiliki ruang dan peluang dalam membendung serbuan infomasi. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan adalah dengan menjadi penyedia konten siaran yang sesuai dengan nilai-nilai pesantren. Dengan cara demikian,  pesantren tetap memiliki ruang dalam konteks pendidikan publik, tanpa harus membangun sikap anti terhadap media. Coba saja rekam kegiatan dakwah di pondok, dan tawarkan pada radio atau TV lokal,” ujarnya.

Sementara itu, Peneliti Centre for LEAD Indonesia, Achmad Musyaddad menyatakan saat ini arus deras informasi semakin tak terhindarkan. Oleh karena itu advokasi strategis bagi publik butuh dilakukan untuk merespon serbuan media dengan melibatkan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat. Salah satu institusi tersebut adalah pesantren. “Sebagai institusi pendidikan dan sosial keagamaan, tradisi pesantren memiliki kekayaan nilai, norma, dan aturan yang menjadi bagian dari kehidupan umat. Selanjutnya, tantangannya adalah bagaimana merumuskan operasionalisasinya ke dalam pengaturan media, bukan saja pada lingkup konten namun juga faktor struktural yang membentuk perilaku media,” kata Achmad Musyaddad.

Dengan dukungan Yayasan TIFA, Program Pengawasan Media oleh  Pesantren yang diselenggarakan oleh Centre for LEAD Indonesia ini ditujukan untuk mendorong perluasan visi edukasi pesantren agar mampu memanfaatkan peluang dalam pendidikan publik yang selama ini mulai diperankan oleh media. Program ini diikuti pesantren dari empat kota ini. Tiga pesantren dipilih di lingkungan NU, yaitu PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang; PP Mamba'us Shalihin, Suci-Manyar, Gresik; dan PP Salafiyyah, Pasuruan. Di lingkungan Muhammadiyah dipilih PP Raudlotul Ilmiyyah (Yayasan Taman Pengetahuan), Kertosono Nganjuk.

Privacy Policy Legal Copyright @2009 Centre For LEAD Indonesia. All Right reserved.